Opini ini ditulis oleh : Musri Nauli
Sebagai pejalan yang sering menempuh perjalanan ke berbagai Desa, entah ke Batin Pengambang, desa-desa yang terletak di Kecamatan Batang Asai (Sarolangun), Ke Kumpeh (dahulu dikenal Kumpeh Ilir, Muara Jambi), Ke Senyerang (Tanjabbar), saya merasakan betul. Hancurnya jalan-jalan yang ditempuh. Suasana itu dirasakan hingga menjelang akhir tahun 2020.
Ke Batang Asai jangan ditanyakan. Rasanya tidak mungkin melewati jalan yang akan ditempuh. Tahun 2014, harus menggunakan mobil double gardan. Itupun harus terbang-terbang. Memacu agar tidak terjebak di tengah lubang yang menganga.
Belum lagi harus berhenti. Membantu mobil yang terjebak ditengah-tengah lubang. Tali wing kemudian harus dikeluarkan. Membantu agar mobil dapat keluar dari lubang.
Tahun 2017, jalan ke Senyerang Sangat menyedihkan. Baru lewat saja LP Teluk Nilau, rasanya mau menangis. Entah berapa kali motor harus didorong.
Cerita jalan Kumpeh paling menyedihkan. Hampir 20 tahun jalan ini tidak pernah disentuh. Jangankan ke Tanjung (Ibukota Kecamatan Kumpeh), baru lewat saja Muara Kumpeh didepan kantor Kecamatan Kumpeh Ulu, selewat dari Simpang Pelabuhan, lubang-lubang begitu menganga. Terus sampai ke Pudak.
Setelah itu didepan Kota Karang, Depan SD, kendaraan harus pelan-pelan. Menghindari lubang-lubang yang dalam. Dan itu praktis hingga Arang-arang.
Baru melewati Kantor Desa Arang-arang, kembali kita kendaraan harus mencari jalan. Supir harus lincah mengatur kendaraannya.
Menjelang Pemunduran, setelah SD, lubang-lubang dalam kembali mengintai. Dan itu menjadi tempat “paling keramat”. Hampir praktis rutinitas mobil-mobil kembali tenggelam. Dan membuat macet hingga berjam-jam.
Sedikit menikmati jalan yang aspal mengelupas di sekitar Puding, kembali hancur memasuki Pematang Raman. Belum lagi jembatan yang begitu tinggi. Kalaupun mobil sedan harus siap-siap “grassreck”. Gesekan bawah kendaraan dengan ujung jembatan.
Memasuki Desa Pematang Raman yang harus pelan-pelan, sesak rasanya dada ini, sedikit agak lumayan memasuki Sungai Bungur dan Sponjen.
Menjelang Dusun Pulau Tigo (Desa Sponjen), kembali lubang mengintai. Tidak hanya membuat macet. Tapi bisa menenggelamkan bodi mobil. Saking dalamnya lubang. Dan itu adalah rute yang sering membuat mobil mengangkut Sawit terdampar.
Begitu seterusnya hingga ke Tanjung Ulu (Kelurahan Tanjung).
Suasana perjalanan ke Batang Asai, Ke Senyerang dan Kumpeh adalah Mimpi buruk. Termasuk mempersiapkan segala skenario apabila menempuh perjalanan. Suasana itu masih terasa.
Namun hanya memerlukan waktu 4 tahun efektif, Al Haris sebagai Gubernur Jambi yang memprioritaskan infrastrukur langsung “gercap”.
Pelan-pelan dan program yang dikemas dengan cara mencicil (multiyears), mimpi itu kemudian terwujudkan.
Lagi-lagi sebagai pejalan, perubahan setiap detail perjalanan, setiap lubang yang telah ditambal, setiap kemajuan yang diraih, benar-benar dirasakan penulis. Dan itu berkejaran dengan waktu untuk menuntaskan program-program yang menjadi tanggungjawab Al haris sebagai Gubernur Jambi.
Alhamdulilah. Mendengarkan langsung dari masyarakat, merasakan langsung perubahan dan setiap kemajuan jalan-jalan yang semula mimpi buruk kemudian dapat dinikmati masyarakat Jambi, akhirnya saya berkeyakinan.
Al Haris menunaikan tugasnya. Al haris mampu menjadi pelopor sekaligus penggerak. Menjadi garda terdepan. Membenani infrastruktur di Jambi.
Tidak salah kemudian saya berani menyematkan. Al Haris sebagai Bapak Infrastrukur Jambi.
Sembari itu apabila disuatu saat nanti. Perjalanan dan mimpi buruk jalan dan infrastrukur di Jambi
kemudian hanya bisa diceritakan. Termasuk kisah-kisah dibalik jalan buruk.
Dan sembari itu saya tersenyum. Bagaimana upaya Al Haris menjadi Bapak Infrastrukur Jambi.
Terima kasih, Pak Gub. Terima kasih atas dedikasimu untuk masyarakat Jambi.(***)
* Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al haris-Sani