banner 728x90
Film  

Ulasan Lengkap Once Upon a Time in High School: Film Korea Brutal yang Mengguncang Era Sekolah

Ulasan Lengkap Once Upon a Time in High School: Film Korea Brutal yang Mengguncang Era Sekolah
Ulasan Lengkap Once Upon a Time in High School: Film Korea Brutal yang Mengguncang Era Sekolah. Foto: Ist

FILM, Jambiwin.com – Once Upon a Time in High School (2004): Ketika SMA Bukan Tentang Cinta, Tapi Bertahan Hidup. Kalau kamu pikir masa SMA hanya tentang cinta monyet, tugas kelompok, dan geng kantin… maka film Once Upon a Time in High School (2004) bakal bikin kamu tarik napas, menahan sesak, lalu sadar bahwa masa sekolah bisa jauh lebih gelap daripada yang kamu bayangkan.

Film ini bukan sekadar drama remaja.
Ini adalah cermin pahit dari Korea Selatan tahun 1980-an — masa saat sekolah bukan tempat belajar, tetapi arena kekuasaan. Siapa kuat, dia menang. Siapa lemah… ya, selamat menanggung semuanya.

Dan film ini menguliti itu semua, tanpa sensor, tanpa basa-basi.

Sinopsis: Remaja Biasa di Sekolah yang Tidak Biasa

Cerita mengikuti Hyun-soo (Kwon Sang-woo), seorang siswa baru yang pindah ke SMA laki-laki. Sekolah ini keras. Bukan keras dalam arti “aturan ketat”… tapi keras karena budaya bully yang sudah mengakar seperti tembok tua yang tak bisa dirobohkan.

Semua orang tunduk pada satu tokoh:
Jong-ho, si penguasa sekolah — bukan ketua OSIS, bukan anak paling pintar, tapi anak paling berbahaya.

Masuk sekolah ini ibarat masuk hutan. Ada rantai makanan. Dan Hyun-soo berada di posisi paling bawah.

Di tengah kekacauan itu, ia menemukan cinta pada gadis bernama Eun-ju, yang ternyata juga disukai oleh sahabatnya sendiri, Woo-shik.
Di sini mulai muncul konflik klasik SMA:
persahabatan vs cinta, harga diri vs kenyataan… tapi semua itu dibalut kekerasan yang bikin ceritanya tidak klise.

Film ini menunjukkan bagaimana cinta, mimpi, dan masa muda bisa runtuh hanya karena kekerasan struktural di sekolah.

Latar Tahun 1980-an: Ketika Korea Belum Menjadi “Korea” Seperti Sekarang

Yang membuat film ini terasa unik adalah setting-nya.
Ini bukan Korea modern yang dipenuhi kafe lucu, drama romantis, dan teknologi serba cepat.
Ini adalah Korea tahun 80-an:

masa kediktatoran,

masa ketegangan politik,

masa kekerasan dianggap normal,

dan masa di mana guru lebih dekat ke “militer” daripada pendidik.

Dengan sepatu kulit yang lusuh, seragam cokelat, rambut klimis, dan rotan di tangan guru — film ini membangkitkan nostalgia… tapi nostalgia yang pahit.

Sinematografinya pun dibuat pudar, keabu-abuan, untuk menegaskan bahwa kebebasan bukan milik anak sekolah di masa itu.

Tema Besar: Hierarki Kekuasaan dan Budaya Diam

Film ini tidak hanya bicara soal bully.
Ini bicara soal sistem.

Sebuah sistem yang membuat kekerasan subur karena:

guru memilih tutup mata,

siswa takut melawan,

orang tua menyerah pada keadaan,

dan masyarakat menganggap itu “bagian dari pendidikan”.

Yang paling menonjol dari film ini adalah pernyataan keras bahwa:

> “Kekerasan tidak terjadi karena pelaku kuat, tetapi karena korban tidak diberi ruang untuk melawan.”

 

Hyun-soo ingin berubah.
Ingin melawan.
Tapi setiap langkah terasa sia-sia karena dinding sekolah itu lebih kuat dari tekadnya.

Karakter dan Akting: Kwon Sang-woo Menjadi Ikon Luka Batin Remaja

Hyun-soo (Kwon Sang-woo)

Aduh… karakter ini bikin banyak penonton emosional.
Ia bukan anak lemah — ia punya harga diri, punya mimpi. Tapi ia terjebak dalam dunia yang membuat setiap harinya terasa seperti perang.

Kwon Sang-woo memainkan peran ini dengan sangat realistis:

tatapan yang kosong tapi menyimpan amarah,

postur bingung tapi ingin berani,

senyum kecil yang berubah jadi getir dalam hitungan detik.

Woo-shik (Lee Jung-jin)

Sahabat yang juga saingan dalam cinta.
Hubungan mereka seperti hubungan dua remaja yang ingin menjadi dewasa, tapi malah saling menyakiti.

Jong-ho

Ini dia “boss level SMA”.
Bukan penjahat kartun yang dibuat berlebihan.
Jong-ho adalah representasi nyata dari anak bully yang didukung sistem: kejam karena bisa, berkuasa karena lingkungan membiarkannya.

Karakter ini bikin penonton gregetan — tapi juga sadar bahwa hal seperti ini masih terjadi di banyak sekolah, bukan hanya di film.

Kekerasan yang Ditampilkan Realistis—Tidak Sensasional, Tidak Berlebihan

Salah satu kekuatan film ini adalah cara mereka menggambarkan kekerasan.

Ini bukan film action.
Ini bukan film gangster.
Ini lebih mirip dokumentasi sosial.

Kekerasan ditampilkan dengan:

ritme lambat,

kamera stabil,

tanpa musik dramatis,

tanpa glamourisasi.

Hasilnya?
Penonton bisa merasakan sakit yang sebenarnya.
Kita merasa hadir di ruang kelas itu.
Kita merasa mendengar teriakan itu.
Dan kita merasa ingin melarikan diri dari sekolah itu.

Inilah yang membuat film ini begitu kuat dan meninggalkan bekas.

Persahabatan, Cinta, dan Mimpi yang Tidak Sederhana

Meski tema utama film adalah kekerasan, unsur romansa dan persahabatan tetap menjadi inti dari cerita.

Relasi Hyun-soo – Woo-shik – Eun-ju adalah versi dewasa dari cinta segitiga SMA.
Tidak ada “siapa dapat siapa” yang manis.
Yang ada justru konflik batin yang mencerminkan kedewasaan dipaksa hadir sebelum waktunya.

Cinta di film ini bukan pelipur lara.
Justru sebaliknya:
cinta adalah pemicu konflik yang menambah kompleksitas dalam hidup Hyun-soo.

Cinta tidak menyelamatkan — tapi justru membuka luka lain.

Kritik Sosial yang Pedas: Ini Tentang Korea, Tapi Juga Tentang Semua Sekolah

Film ini memang berlatar Korea, tapi isu-isu yang diangkat bersifat universal:

bully yang dianggap “tradisi”

kekerasan guru yang dianggap “pendidikan”

siswa yang harus tunduk pada senior

tekanan sosial untuk menerima ketidakadilan

Dan ini sangat relevan untuk negara mana pun, termasuk Indonesia.

Setiap sekolah pasti pernah punya “Jong-ho versi lokal”.
Setiap sekolah pernah punya cerita “diam-diam tapi mengerikan”.

Film ini mengajak kita merenung:

> “Berapa banyak kekerasan yang terjadi di sekolah, tapi dunia luar tidak pernah tahu?”

 

Ending: Pahit, Menyesakkan, Tapi Realistis

Tanpa spoiler detail…
Ending film ini bukan happy ending.
Bukan juga ending “heroik” yang memberi harapan besar.

Ending-nya sunyi.
Pedih.
Dan sangat manusiawi.

Bukan akhir yang kita inginkan…
tapi akhir yang paling sesuai dengan situasi yang diciptakan film.

Ada pesan yang ingin disampaikan film ini, bahwa:

> “Tidak semua orang bisa menang… tetapi setiap orang bisa memilih untuk tidak diam.”

 

Review Kritikus: Disebut Salah Satu Film Sekolah Terbaik Korea

Setelah rilis tahun 2004, film ini langsung mendapat banyak perhatian karena:

keberaniannya mengangkat realita kelam,

akting kuat para pemeran,

atmosfer era 80-an yang otentik,

dan pesan moral yang tajam.

Beberapa kritikus menilai film ini sebagai:
salah satu film sekolah terbaik yang pernah dibuat Korea — meski bukan film yang mudah ditonton dua kali.

Dan alasan itu masuk akal.
Sekali nonton… cukup untuk menggores hati lama-lama.

Kesimpulan: Film SMA yang Bukan Tentang Cinta, Tapi Tentang Luka

Once Upon a Time in High School adalah film yang penting.
Bukan karena nostalgia masa sekolah, tetapi karena keberaniannya menunjukkan realita yang sering kita tutupi.

Ini film tentang:

kekerasan,

sistem yang rusak,

sahabat yang berubah jadi lawan,

cinta yang tidak selalu menyembuhkan,

dan remaja yang harus bertahan dari dunia yang tidak ramah.

Kalau kamu mencari film remaja yang manis dan cerah, ini bukan filmnya.
Tapi kalau kamu ingin film yang jujur dan membekas…
maka film ini wajib masuk daftar tonton.

Lalu bagaimana cara nonton film ini. Gampang. Buka browser, ketik yandex.com, setelah terbuka situs pencarian yandex, ketik nonton film Once Upon a Time in High School (2004) lk21. Tinggal pilih website mana yang mau diakses. (gie)