Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM *
Polemik pembangunan stockpile batu bara oleh PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi, telah berlangsung sejak tahun 2023 dan kian memanas hingga 2025. Di tengah gelombang penolakan masyarakat, tekanan dari DPRD, dan kecaman organisasi lingkungan, Wali Kota Jambi masih tampak berhati-hati dan menahan langkah konkret.
Padahal, problematika ini bukan sekadar soal kepatuhan terhadap izin formal—melainkan menyangkut integritas kebijakan ruang, keselamatan ekologis, dan keadilan sosial.
Regulasi Sudah Tegas: Stockpile Batubara Ilegal Secara Tata Ruang
Perda Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah menetapkan Aur Kenali sebagai kawasan permukiman, ruang terbuka hijau (RTH), dan pertanian. Artinya, pendirian fasilitas industri seperti stockpile batu bara dan Terminal Khusus (TUKS) di kawasan ini secara hukum bertentangan dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan.
PT SAS boleh jadi memegang dokumen AMDAL dan perizinan lainnya yang diperoleh sejak 2015—namun secara hukum tata ruang, semua izin tersebut gugur relevansinya sejak diberlakukannya RTRW 2024–2044. Ketentuan ini berlaku mutlak dan non-negosiasi.
Dalih “Belum Ada Aktivitas” Tak Relevan: Antisipasi Adalah Keharusan
Salah satu narasi yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghindari tindakan tegas adalah bahwa di lokasi tersebut belum berlangsung aktivitas industri ekstraktif secara penuh—dengan alasan bahwa PT SAS masih dalam tahap site engineering.
Namun fakta lain menunjukkan bahwa lokasi ini memang telah dirancang dan dipersiapkan untuk menjadi TUKS (Terminal Khusus) serta stockpile batu bara permanen, dan itu merupakan inti dari kegiatan usaha PT SAS sebagai korporasi tambang. Dengan kata lain, semua tahapan yang sedang berjalan saat ini adalah bagian dari persiapan menuju kegiatan industri ekstraktif.
Bahkan, jalan khusus batubara yang tengah dibangun oleh PT SAS juga mengarah langsung ke lokasi TUKS ini. Maka, penundaan tindakan atas dasar “belum beroperasi” adalah bentuk pembiaran terhadap proses perampasan ruang yang sedang berjalan secara sistematis.
Dalam konteks ini, tindakan antisipatif menjadi kewajiban konstitusional pemerintah daerah, bukan sekadar opsi. Jika pembiaran terus berlangsung, maka segala dampak ekologis, konflik sosial, hingga legalisasi ruang yang inkonstitusional akan terjadi sebagai konsekuensi.
Legitimasi Sosial dan Politik: Penolakan Sudah Menjadi Konsensus
Penolakan terhadap proyek ini tidak datang dari satu-dua kelompok. Masyarakat RT 03 Aur Kenali, warga Mendalo, Penyengat Rendah, dan lainnya telah melakukan aksi berkali-kali sejak 2023. WALHI Jambi menyebut proyek ini sebagai kejahatan ekologis. DPRD Kota dan Provinsi, termasuk Anggota DPR RI, telah mendesak peninjauan izin dan tindakan hukum. Bahkan, Pj Wali Kota sebelumnya telah menyatakan penolakan resmi atas izin baru PT SAS.
Apa lagi yang perlu ditunggu? Legitimasi sosial dan politik sudah jelas berpihak pada rakyat dan lingkungan. Jika Wali Kota Jambi masih belum mengambil sikap tegas, maka publik akan mempertanyakan: berpihak pada siapa sebenarnya pemerintah hari ini?
Himbauan Tindakan yang Harus Segera Diambil oleh Wali Kota Jambi
Melihat eskalasi polemik stockpile batubara PT SAS di Aur Kenali yang terus berkembang, Wali Kota Jambi dituntut untuk segera mengambil sikap tegas dan terukur. Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tapi soal keberpihakan pada rakyat, hukum, dan masa depan ruang kota.
Pertama, aktivitas pembangunan fisik yang saat ini masih berlangsung—meski diklaim sebagai tahap awal (site engineering)—harus segera dihentikan. Sebab, semua infrastruktur yang tengah dibangun secara jelas ditujukan untuk mendukung kegiatan industri ekstraktif berupa TUKS dan stockpile batu bara, yang bertentangan langsung dengan RTRW 2024–2044.
Kedua, Pemkot perlu membekukan dan mencabut izin-izin yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang, serta menolak secara tegas setiap permohonan baru yang diajukan PT SAS terkait proyek ini. Penyesuaian atau kompromi atas nama investasi tidak dapat dibenarkan jika melanggar hukum tata ruang.
Ketiga, pembangunan jalan hauling batubara yang mengarah langsung ke lokasi TUKS juga patut dihentikan. Jalur ini merupakan bagian integral dari skema industri yang jelas-jelas tidak diperuntukkan bagi kawasan permukiman dan RTH seperti Aur Kenali.
Keempat, Pemkot perlu berkoordinasi dengan KLHK dan aparat penegak hukum guna memastikan tidak ada pelanggaran lingkungan, penyimpangan tata ruang, atau potensi konflik sosial yang terus dibiarkan berkembang.
Ini adalah momentum untuk menunjukkan kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Menunda tindakan sama saja membiarkan pelanggaran berlangsung perlahan. Maka, tindakan preventif dan pemulihan tata ruang harus menjadi prioritas—bukan reaksi ketika semuanya sudah terlambat.
Kepemimpinan Diuji Saat Ini
Wali Kota Jambi hari ini dihadapkan pada pilihan penting yang akan dikenang dalam catatan sejarah kota ini: berpihak pada rakyat dan ruang hidupnya, atau pada investasi yang mengancam kelestarian ruang dan hak masyarakat.
Kepemimpinan bukan soal popularitas, tetapi soal keberanian mengambil sikap dalam kondisi penuh tekanan. Menunggu adalah bentuk pengabaian. Menunda adalah bentuk pembiaran. Dan pembiaran adalah bentuk pelanggaran.
Jika pemerintah tidak bertindak hari ini, maka rakyat yang akan mengambil alih tugas itu. Dan saat itu terjadi, konflik sosial bukan lagi potensi—melainkan kenyataan. (*)
* Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan
Berkelanjutan