Opini ini Ditulis Oleh : Ir. Martayadi Tajuddin, MM *)
Warga Jambi sedang dihadapkan pada satu pilihan krusial: mau mempertahankan air bersih sebagai hak dasar, atau membiarkan investasi batu bara berjalan seenaknya di tengah permukiman?
Pembangunan stockpile batubara milik PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali bukan sekadar urusan izin dan dokumen. Ini menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat Kota Jambi.
Lokasinya berdempetan dengan intake PDAM Aurduri—sumber air bersih utama bagi puluhan ribu rumah tangga. Siapa yang berani menjamin, dalam beberapa tahun ke depan air itu tidak tercemar? Siapa yang mau bertanggung jawab kalau ribuan warga sakit karena polusi udara dan air?
Tata Ruang Itu Bukan Hiasan Dokumen
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bukan hanya lembaran peta atau syarat administrasi izin usaha. Ia adalah panduan arah pembangunan, dan yang lebih penting lagi, pagar pelindung warga dari kesemrawutan dan keserakahan. Dalam kasus PT SAS, lokasi stockpile itu diduga kuat tidak sesuai peruntukan ruang. Kalau benar, maka tidak ada alasan lagi untuk membiarkan proyek itu terus berjalan.
Dalam teori perencanaan wilayah (Friedmann, 1987), tata ruang adalah alat distribusi keadilan. Kalau ada satu perusahaan bisa leluasa membangun di zona yang seharusnya dilindungi, sementara warga harus menanggung dampaknya, lalu di mana keadilannya? Pemerintah Kota Jambi harus berani berdiri di depan, bukan malah sembunyi di balik meja atau mengulur-ulur keputusan dengan berbagai alasan.
Stockpile di Dekat Intake? Ini Bukan Sekadar Salah Lokasi, Tapi Bunuh Diri Ekologis
Bayangkan, nantinya aktivitas bongkar muat batubara, debu beterbangan, potensi rembesan limbah—semuanya terjadi tak jauh dari tempat air minum kita diolah. Ini bukan hanya soal lingkungan, ini soal kesehatan masyarakat. Kalau intake PDAM sampai tercemar, bukan cuma satu-dua orang yang kena. Ribuan warga Jambi bisa terdampak.
Konsep precautionary principle dalam kebijakan lingkungan jelas menyatakan: jika ada potensi risiko besar terhadap kesehatan dan lingkungan, maka tindakan pencegahan harus diutamakan, meskipun bukti ilmiahnya belum sepenuhnya lengkap. Jangan tunggu ada korban dulu baru sibuk cari solusi, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengantisipasinya, bukan hanya menunggu dengan barbagai dalih..
Belajar dari Ketegasan Pemkab Tanjabtim
Pemerintah Kota Jambi seharusnya bisa berkaca pada sikap berani Pemkab Tanjung Jabung Timur beberapa tahun lalu. Saat sumur-sumur migas milik PetroChina terbukti tak sesuai izin lokasi, Pemkab Tanjabtim tidak ragu: mereka segel. Tegas. Walau sempat mendapat tekanan dari pusat, mereka tetap di jalur aturan. Karena mereka tahu, membiarkan pelanggaran hanya akan menumpuk masalah di masa depan.
Langkah Pemkab Tanjabtim adalah contoh nyata dari keberanian birokrasi dalam menegakkan aturan. Bukan tunduk pada kekuatan modal, tapi patuh pada mandat perlindungan ruang hidup masyarakat.
Pemerintah Harus Pilih Sisi: Warga atau Investor?
Kota Jambi tak kekurangan orang pintar. Tapi hari ini, yang dibutuhkan bukan sekadar kecerdasan birokrasi—melainkan keberanian moral untuk mengambil sikap. Kalau benar stockpile PT SAS itu melanggar RTRW, apalagi membahayakan sumber air bersih, maka tak perlu menunggu panjang lebar: hentikan, segel, evaluasi total.
Jangan sampai air bersih ditukar dengan debu batubara. Jangan sampai kepentingan investasi mengalahkan keselamatan warga. Jangan sampai pemerintah kita jadi penonton ketika warganya menjerit karena ruang hidup mereka dikorbankan atas nama “pembangunan dan investasi “
Warga Butuh Kepastian, Bukan Dalih
Isu PT SAS ini adalah ujian nyata bagi Pemerintah Kota Jambi untuk saat harus memilih. Di satu sisi ada kekuatan modal dan kepentingan ekonomi jangka pendek. Di sisi lain, ada ribuan warga yang bergantung pada udara bersih, air layak konsumsi, dan ruang hidup yang aman.
Warga Jambi tidak butuh janji atau statemen normatif. Yang dibutuhkan adalah keputusan nyata, keberanian untuk menegakkan aturan, dan keseriusan melindungi warga dan ruang hidupnya . Jika pemerintah gagal mengambil langkah hari ini, maka kelak sejarah akan mencatat: mereka hanyalah penonton yang tahu risikonya, namun memilih bungkam yang buta hati nurani. (*)
*) Penulis opini ini ialah Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan